Seorang panglima musuh melangkah mendekati Sanjuro. Dibungkukkan badan sebagai tanda menghormat, lalu dari arah samping kiri, diayunkannya pedang yang masih berada dalam sarungnya. Setelah pedang mendekati tubuh Sanjuro, tiba-tiba didorongnya sarung pedang dengan jentikan ibu jari
^_^
^_^
Sambil terus berdiri diatas singgasana, Sanjuro dengan tangkas memainkan sebuah pedang panjang ditangan kanan dan satu pedang pendek ditangan kiri, menangkis dan menebas ratusan prajurit yang menyerangnya. Pewaris Tiga Propinsi Selatan yang berusia 19 tahun tersebut mampu dengan cermat mengantisipasi arah serangan lawan-lawannya --- termasuk lawan yang berada dibelakangnya --- hanya dengan merasakan desir angin yang menerpa kulitnya.
Lebih dari 20 tubuh prajurit musuh bergelimpangan di sekitar singgasana. Tebasan backhand Sanjuro yang secepat sepertiga kerdipan mata-lah penyebabnya. Kecepatan luar biasa yang tak pernah terduga oleh para penyerangnya telah memakan banyak korban, terutama para prajurit yang mencoba menyerang dari belakang. Mereka sangat kaget saat melihat mata pedang Sanjuro tiba-tiba berbalik arah dan secepat kilat mencium leher mereka. Ketika sadar mereka mendapati kepala mereka telah terpisah dari tubuh.
Namun semua itu tak banyak artinya karena para penyerang berjumlah 6000 orang sementara pasukan Sanjuro kurang dari seratus orang. Perlahan tapi pasti pasukan musuh mendesak pengawal Sanjuro, dan kastil-pun telah berubah menjadi lautan musuh. Dua bulan silam kastil masih dijaga 18.000 tentara. Sekarang hampir seluruh tentara Sanjuro sedang melakukan ekspedisi ke seberang lautan untuk merebut propinsi-propinsi timur.
Para penyerbu sebenarnya adalah sekutu-sekutu dekat Propinsi Selatan semasa ayahnya masih hidup, yang tiba-tiba berbalik membantu musuh setelah si raja tua meninggal. Padahal mereka diharapkan menjadi perisai dari serangan Propinsi Utara saat sebagian besar pasukan tidak berada di ibukota. Tragedi ini berawal dari keberhasilan Propinsi utara merayu mereka untuk meneken perjanjian kerjasama dengan imbalan perlindungan militer dan tiga propinsi selatan milik Sanjuro akan dibagikan pada mereka bila berhasil mengeliminasi si pewaris tahta.
Namun sebenarnya alasan utama pemberontakan adalah karena Sanjuro dianggap lemah, kurang cerdas dan tak dapat diandalkan bila sewaktu-waktu Propinsi utara melakukan penyerbuan ke selatan. Sanjuro dianggap tidak sakuat bapaknya yang sangat disegani oleh musuh-musuhnya.
^_^
Sebuah anak panah tak berhasil ditangkis Sanjuro yang telah kelelahan, dan menghantam dadanya sehingga badannya limbung. Kesempatan itu tidak disia-siakan para penyerang, tiga orang prajurit bertombak berhasil menembus punggung Sanjuro dan membuatnya jatuh terduduk di atas singgasana. Sanjuro merasakan seluruh tubuhnya kaku tak bisa digerakkan. Dikatupkan bibirnya menahan rasa haus terbakar yang menjalar disekujur tubuhnya. Dipejamkan matanya dan ditabahkan hatinya untuk menjemput nasib. Sementara ratusan pasukan penyerang diam terpaku menghentikan serangan.
Seorang panglima musuh melangkah mendekati Sanjuro. Dibungkukkan badan sebagai tanda menghormat, lalu dari arah samping kiri, diayunkannya pedang yang masih berada dalam sarungnya. Setelah pedang mendekati tubuh Sanjuro, tiba-tiba didorongnya sarung pedang dengan jentikan ibu jari hingga pedang terhunus dan secepat kilat menerkam tubuh Sanjuro. Sejenak kemudian lampu-lampu hias yang tergantung di atas singgasana berubah menjadi merah seiring ambruknya tubuh si penguasa muda. Tetesan-tetesan merah menitik dari lampu hias, berjatuhan bagai gerimis membasahi seragam para penyerang, seolah-olah menangisi runtuhnya dinasti lama.
^_^
“Ihh, Sadis” teriak Maruko setelah mendengar cerita Shinobu Inokuma tentang nasib Sanjuro. Bagaimana mungkin penguasa propinsi-propinsi yang pernah menjadi sahabat, tega menyerang dan membantai seperti itu. Shinobu tertawa ---- dan mengatakan apa yang sering dikeluhkan Maruko tentang politisi di parlemen yang ribut beradu argumen dan saling serang pendapat lawan-lawannya di media massa --- bukan hal yang terlihat buruk bila dibandingkan penyerbuan kastil Sanjuro.
Sebuah perdebatan di parlemen tentu lebih aman dibanding sebuah pertempuran di medan perang. Perubahan hubungan dari lawan jadi kawan, maupun sebaliknya bukanlah hal yang baru dalam politik. Menurut Shinobu bila dilihat dari sisi dampaknya terhadap kehidupan masyarakat umum -- hidup di saat ini jauh lebih ringan dibanding hidup di masa kekuasaan di sebuah negara diperjuangkan dengan jalan pedang.
0 comments:
¿Te animas a decir algo?