Udara, laut dan daratan di Kota Gaza sekarang dikuasai oleh militer Israel. Mereka juga menginvasi pikiran, syaraf dan telinga orang Gaza.
Dalam usaha untuk menghentikan anak-anak saya yang rewel, gemetar ketakutan saat terbangun setelah mendengar gelegar bombardir selama serangan Israel; maupun ketakutan di saat mereka terjaga, saya memasang kapas di telinga mereka – tapi hal itu tidak banyak membantu.
source: worldbulletin.net
Saya khawatir terhadap perusakan yang sedang dilakukan terhadap hati mungil anak-anak saya. Mereka belum punya hati sebesar saya, mereka tak akan mampu mengatasi tekanan sebesar ini.
Kami kehabisan bahan bakar untuk generator, yang berarti bahwa kami yang berjumlah 11 orang harus berdesak-desakan di sebuah kamar kecil dengan sedikit cahaya selama tiga hari.
Kami juga tidak memiliki air. Air sumur kami hanya dapat diambil dengan pompa air yang butuh listrik. Sedangkan aliran listrik sudah mati di sebagian besar Gaza ketika serangan Israel dimulai.
Tidak seperti banyak keluarga lainnya, kami beruntung kemarin menemukan 20 liter bensin untuk generator listrik. Tidak ada pasokan bahan bakar sejak mulai terjadi serangan di Gaza, sehingga kami harus membayar tujuh kali lipat dari harga biasa.
Kami punya sisa makanan untuk satu hari dan popok yang saya beli dua minggu lalu hampir habis. Popok itu berkualitas rendah, karena hanya sedikit barang yang bisa masuk wilayah Gaza sejak di blokade 18 bulan silam. Popok berkualitas buruk tersebut mengalami kebocoran yang mengganggu. Beberapa hari terakhir si kecil juga harus mandi dengan air sedingin es.
Adik perempuan yang pernah saya tulis tinggal bersama saya, akhirnya memutuskan kembali ke rumahnya walaupun kami protes. Dia takut dengan menipisnya jumlah makanan yang tersisa, kami akan makan satu kali sehari. Bukan lagi makan dua kali sehari seperti yang akhir-akhir ini kami lakukan. Di rumahnya dia memiliki sedikit makanan, cukup untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya untuk sementara waktu.
Kami sekarang berjumlah 11 orang, meringkuk bersama-sama di ruang makan orangtua saya. Saudara laki-laki saya, saya dan keluarga kami pindah ke sini. Kami berpikir bahwa lantai pertama rumah ini mungkin merupakan pilihan paling aman.
Ada pepatah dalam bahasa Arab yang mengatakan "kematian dalam kelompok adalah rahmat". Saya mengira jika kami mati bersama-sama mungkin, hanya mungkin, kami akan merasa kurang sakit dibandingkan mati sendirian.
Saya tidur 8 jam sejak awal terjadinya konflik ini, kami dapat mendengar serangan hampir setiap menit.
Saya berpikir, jika salah satu dari kami terluka atau membutuhkan bantuan medis, apa yang akan terjadi? Ambulans menemukan kesulitan untuk mencapai orang-orang sipil, jalan yang terblokir oleh puing-puing, pasukan Israel ada di rutenya - Anda dapat terluka bahkan bisa mati.
Seandainya Ambulans bisa mencapai kami, mungkin kami akan di bom dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Jika kami bisa sampai ke rumah sakit, mungkin tidak tersedia lagi ruangan untuk merawat kami – hanya ada sedikit obat-obatan, sedikit peralatan dan sedikit listrik yang dipergunakan untuk menjalankan peralatan life-saving. Bahkan kami tidak dapat keluar dari Gaza untuk perawatan life-saving yang kami diperlukan.
Sekarang rumah sakit mengandalkan generator cadangan yang membuat hidup lebih sulit bagi para dokter yang berusaha untuk menanggulangi arus masuk pasien dari orang-orang yang terluka. Jika bahan bakar untuk generator habis, pasien-pasien yang bergantung pada peralatan life-saving akan tewas.
Hari ini aku mendengar seorang wanita menelepon ke stasiun radio - layanan ambulan tidak dapat mencapai dirinya dan saya kira dia berpikir stasiun radio mungkin bisa melakukan sesuatu. Dia meratap di telepon "Rumah kami terbakar, anak-anak saya sekarat, bantu saya". Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan wanita dan anak-anaknya tersebut – Saya tidak mau membayangkan.
Saya menghabiskan banyak waktu untuk berpikir bahwa saat ini bisa jadi adalah jam terakhir keberadaan saya di dunia.
Ketika saya mencoba untuk tidur, saya mendengar di radio jumlah orang yang telah meninggal meningkat dari jam ke jam. Saya ingin tahu jika besok pagi, saya akan menjadi salah satu dari tubuh yang dihitung, bagian dari breaking news.
Bagi semua orang yang menonton kematian dan kerusakan di Gaza, saya hanyalah tambahan angka korban Atau mungkin karena saya bekerja untuk Oxfam maka berarti saya adalah sebuah nama dan bukan sekedar tambahan jumlah angka korban. Saya mungkin akan dibicarakan selama satu menit dan beberapa saat kemudian dilupakan, seperti semua korban lain yang telah tewas.
Saya tidak takut mati - saya tahu bahwa suatu hari kita semua akan mati. Tapi tidak seperti ini. Tidak duduk diam di rumah saya dengan anak-anak di lengan saya seraya menunggu kehidupan kami yang akan diambil. Aku jijik oleh ketidakadilan ini.
Apakah masyarakat internasional menunggu - untuk melihat lebih banyak orang dan keluarga terhapus sebelum bertindak? Waktu terus berjalan, jumlah orang yang mati dan terluka terus bertambah. Apa yang mereka tunggu?
Apa yang terjadi di Gaza bertentangan dengan kemanusiaan. Apakah kami bukan manusia?
Mohammed Ali, penduduk Gaza yang bekerja di bidang advocacy and media researcher untuk Oxfam.
diterjemahkan oleh undil dari english.aljazeera.net
Gaza diary: Are we not human?
By Mohammed Ali in Gaza City
As the death toll from Israel's war on Gaza continues to climb, Mohammed Ali, an advocacy and media researcher for Oxfam who lives in Gaza City, will be keeping a diary of his feelings and experiences.
Are We Not Human?
The air, the sea and the earth in Gaza City are now occupied by the Israeli military. They occupy Gazans' minds, nerves and ears too.
In a bid to stop my children twitching, jerking, trembling and waking at every sound of an attack during their few hours of sleep and their many waking hours, I put cotton wool in their ears - it has not worked.
I wonder what damage is being done to my children's tiny hearts. Theirs are not as big as mine, they can cope less with the stress that is being put on them.
We ran out of fuel for our generator, which meant that we were confined to a small room filled with eleven people, with little light for three days.
We have not had water either; our well can only pump water if it has electricity which most of the Gaza Strip has been denied since this nightmare started.
Unlike many other families, we were fortunate yesterday to find 20 litres of benzene to power our generator. No fuel has come in since the onset of this attack on Gaza so we had to pay seven times its usual price.
We have one day's worth of food left and the nappies I bought two weeks ago are nearly gone. They are not good quality as little has been able to enter this strip of land since the blockade was imposed on us 18 months ago. Bad quality nappies mean unpleasant leakages, and for the last few days the little ones have had to be bathed in freezing cold water.
My sister who was with us the last time I wrote decided to return home in spite of our protests. She feared that with food reserves running out we might have to eat one meal a day rather than the two we have been having of late. At home she has a little food left, enough to keep her and her family going for a while longer.
We are now 11, huddled together in my parents' dining room. My brother and I and our families moved there, thinking that the first floor may be the safest option.
There is a saying in Arabic which says "death in a group is a mercy". I guess if we die together maybe, just maybe, we will feel less of the pain than in doing so alone.
I have had 8 hours sleep since the beginning of this conflict; we can hear attacks almost every minute.
I think to myself, if one of us is injured or needs medical attention what will happen? Ambulances are finding it difficult to reach civilians, roads are blocked by rubble, Israeli forces in their path - you could bleed to death.
Even if they did get to us, maybe we would be bombed on our way to the hospital. If we did reach the hospital there might not be enough room to treat us - there is little medication or equipment or any electricity to fuel the life-saving equipment. We would not even be able to get out of Gaza for the life-saving treatment we needed.
Hospitals are now running on back-up generators making life even more difficult for the doctors who are trying to cope with the influx of the injured. If fuel runs out for the generators, those on life-saving equipment will perish.
I heard a woman calling into a radio station today - ambulance services could not reach her and I guess she thought the radio station might be able to do something. She was wailing down the phone "our home is on fire, my children are dying, help me". I do not know what happened to her and her children - I do not want to imagine.
I spend much of my time thinking that this could be the last hour of my existence.
As I try to fall asleep, I hear on the radio the numbers of people who have died rising by the hour. I wonder if tomorrow morning, I will be part of that body count, part of the next breaking news.
I will be just another number to all those watching the death and destruction in Gaza or maybe the fact that I work for Oxfam will mean that I will be a name and not just a number. I might be talked about for a minute and moments later forgotten, like all those other people who have had their lives taken away from them.
I am not afraid of dying - I know that one day we all must die. But not like this, not sitting idly in my home with my children in my arms waiting for our lives to be taken away. I am disgusted by this injustice.
What is the international community waiting for - to see even more dismembered people and families erased before they act? Time is ticking by and the numbers of dead and injured are increasing. What are they waiting for?
What is happening is against humanity, are we not human?
sumber: english.aljazeera.net
0 comments:
¿Te animas a decir algo?